(opini) Virus Corona Dalam Perspektif Politik Dunia

By Abdi Satria


Oleh M. Ridha Rasyid (Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)

TULISAN  ini  bukanlah membahas tentang mikrobiologi virus ataupun bakteri. Tetapi kita akan analisis dari sisi politik dunia. Mengapa dunia? Oleh sebab sindrom virus ini di bandingkan berbagai epidemi lainnya yang pernah melanda dunia, maka virus ini yang kemudian diberi nama covid19, paling ditakuti dan sudah menyebar di semua benua.

Mulai dari Australia Asia, Afrika, Amerika. kecuali Antartika. Menunjukkan betapa dahsyatnya virus ini dalam menyebarkan benih benih penyakit yang mematikan.

Kota Wuhan, Propinsi Hubei di China, tempat virus ini "bersemayam" yang lalu menjangkiti banyak orang. Terjadilah gejolak di mana mena. Hingga tulisan ini di buat, telah menewaskan dua ribu sembilan ratus orang, demikian laporan Badan Kesehatan Dunia, WHO.

Sungguh memiriskan sekaligus memprihatinkan. Korbannya, bukan hanya warga tetapi juga dokter yang menangani penyakit yang ditimbulkan dari virus ini juga menjadi korban. Luar biasa.

Dampaknya tidak hanya ekonomi dunia yang terguncang, dengan mengoreksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir semester pertama tahun ini, juga menimbulkan gejolak politik, walaupun bukan satu satunya faktor, namun menjadi salah satu yang menimbulkan kekisruhan politik. Contoh, di China sejumlah pejabat, mulai tingkat kota hingga pemerintah pusat di Beijing, dipecat gara gara dianggap tidak mampu melakukan langkah langkah kebijakan untuk mengatasinya.

Di Korea Selatan, juga demikian. Sebagai negara kedua dengan penderita terbanyak, pemerintah Korea Selatan, yang merupakan basis ekonomi teknologi telekomunikasi terkemuka dunia, mengalami "kegalauan" yang sangat dalam, sehingga pemerintah di sana, bingung mengupayakan langkah langkah tepat dan positif mengurangi penyebaran virus ini. Mengingat, virus ini anti akan canggihnya teknologi.

Artinya, tidak berpengaruh banyak teknologi untuk mengendalikan perluasan daya jelajah virus ini. Saat ini, hanya bisa bagaimana mengusahakan penanganan pasien yang telah "tertembus" virus yang masih dalam penelitian akan "kinerja" virus satu ini yang amat cepat. Iran, juga mengalami nasib sama dengan Korea Selatan.

Bahkan dilaporkan bahwa hampir semua kepala daerah di sana bergerak cepat dan berkoordinasi dengan seluruh layanan kesehatan yang tersedia untuk segera dan sedini mungkin mengambil kebijakan, yang konsekuensinya apabila perintah ini kurang diindahkan berdampak pada pencopotan jabatan.

Di Afrika, walaupun belum semua negara di sana berdampak, namun telah melakukan sosialisasi yang intens, yang berujung pada ultimatum kepada pejabat untuk menempuh cara yang cepat dan tepat.

Bila tidak, lagi lagi mempertaruhkan posisi mereka dalam pemerintahan. Singapura, Thailand, Philipina dan Malaysia , bukanlah negara yang "kebal" dari virus ini. Yang agak dipertanyakan, negara kita yang "immun".

Patut disyukuri, bahwa negeri kita ini masih "bersih" dari pengaruh virus jahat ini, meski sejumlah pihak mencurigai komunikasi kita tentang hal "membara" dunia. Terakhir, Arab Saudi, negara yang selama ini tidak pernah terdengar adanya tindakan "sporadis" menghentikan ibadah umrah, namun juga harus mengakui bahwa perlu ada moratorium perjalanan religi ummat Islam sedunia. 

Implikasi Politik

Walaupun sangat kurang literatur yang membahas tentang kaitan virus yang melanda bumi ini, dengan politik dunia, tetapi dari berbagai tinjauan yang mengatakan, jejak jejak perburukan ekonomi pasti akan berhubungan dengan kestabilan politik. Apatahlagi, jikalau negara itu tidak cukup fondasi politiknya.

Terutama, kalau pemerintahan itu dibentuk atas dasar koalisi. Ketika membaca sinyalemen tadi, sejatinya memang, ekonomi, juga lemahnya kepemimpinan dalam pemerintahan, pasti akan berimplikasi pada dinamika politik. Oleh karena hampir bisa dipastikan, pengambilan keputusan tidak terlepas dari rezim berkuasa. Yang bila tidak disertai argumen yang kuat, dengan menafikan kepentingan sesaat pada partai partai yang menguasai parlemen, dalam sistem parlementer, maka itu akan menimbulkan "keirian" dari partai oposisi.

Pengalaman yang mendekati asumsi ini, terjadi ketika Kim Il Sung, di Korea Utara pada era kekuasaannya di tahun 70an, di mana salah satu daerah di sana, terserang epidemi penyakit yang meresahkan masyarakatnya, akibatnya kepala daerah setempat dipecatnya. Tetapi, ternyata itu justru pemicu awal mulainya ketidak-percayaan warga akan kemampuan pemimpin besar Korea Utara ini.

Artinya, persoalan kesehatan, tidak boleh dinafikan terhadap suasana politik suatu wilayah, oleh sebab faktor penentu keberhasilan suatu negara atau daerah tergantung cara bagaimana penguasa mengelola kesehatan. Terlebih di era modern. Boleh jadi, mungkin di masa lalu, penderitaan yang berujung kematian, bukanlah hal luar biasa.

Bahkan sangatlah lumrah, seiring dengan perkembangan teknologi kesehatan yang masih sangat terbatas. Kini, hal itu tidak bisa diabaikan. Bahkan, ketika masyarakat merasa tidak terlindungi dan terpenuhinya kesehatan meraka, maka pemerintahannya tidak "becus" mengurus wilayah dan warganya sendiri.

Makanya, di hampir semua janji janji politik dunia, rutinitas kesehatan, termasuk asuransi kesehatan, menjadi narasi yang sangat bermakna bagi konstituen untuk memilih pemimpinnya. Tidak jarang, bahkan beberapa ilustrasi politikus yang gagal dalam pertarungan politik di Pemilu Presiden di Amerika Serikat, jatuh karena tidak bisa memperjuangkan kebutuhan dasar dan hak primer masyarakat mendapatkan pertanggungan kesehatan oleh negara.

Dalam kurun waktu lebih dari empat dasawarsa, Amerika Serikat memperjuangkan asuransi kesehatan. Nanti di era Barack Obama terealisasi hajat hidup masyarakat Amerika . Makanya, ketika ada calon presiden di sana yang coba "mengusik" legacy terpenting dari era kepemimpinan Barak Obama ini, lawannya adalah masyarakat di sana. 

Bagaimana dengan Indonesia?

Untuk menjelaskan dampak langsung sisi kesehatan dengan gejolak politik, sangat sulit untuk diuraikan. Negeri ini mendapatkan "keberkahan" dari sang Maha Pencipta. Kita adalah bangsa yang sangat toleran dan n'rimo. Terima apa adanya. Terserah apa kata pemerintah. Kita adalah negara yang telah lama "teruji" dari berbagai aspek yang berkembang. Meski kita bukanlah negara yang benar benar "bersih" dari epidemi, seperti malaria di tahun 60an, TB sejak tahun 40an hingga sekarang masih banyak penderitanya, tetapi syukur semua bisa di tangani dengan "cara kita". 

Virus corona atau covid19 ini, bukanlah hal yang perlu terlalu ditakuti, sebab kita punya ketahanan "misterius", yakni panas bumi yang kata para ahli biologi , membuat virus dan semacamnyaberkembang dan tidak bisa "lari" kemana mana. Ini juga, mereduksi kecurigaan banyak pihak bahwa Indonesia sengaja "menutup" informasi tentang adanya virus ini.

Dan, lagi lagi, kita bisa membuktikan bahwa kita punya daya kuat dengan mengevakuasi anak bangsa dan di karantina secara baik, dan mereka bisa diulangkan dalam kondisi baik. Sekarang ini, proses karantina penumpang kapal pesiar di Pulau Seribu, selain sebelumnya di Batam telah berhasil mengambil tindak yang intens menanganinya. 

Semoga kita menjadi negara dan anak bangsa yang di-"kasihani" Allah SWT

Wallahu 'alam bisshawab